10 Desember 2008

REDESAIN PENGELOLAAN HUTAN : STUDI KASUS DI KPH PARENGAN (Bagian 2 dari 3)

MENGAPA HARUS REDESAIN.

Kondisi Internal KPH Parengan

Letak, Luas dan Komposisi Kelas Hutan

KPH Parengan terletak di Kabupaten Tuban dan Bojonegoro, yang merupakan satu hamparan dengan wilayah hutan Bojonegoro yang meruakan ‘iconhutan jati di wilayah perum perhutani unit II jawa timur. Termasuk kelas perusahaan Jati dengan luas 17.636,3 ha terdiri dari hutan produktif 16.993,5 ha (96,4 %) dan hutan tidak produktif seluas 642,8 ha (3,6%). Dari yang produktif yang baik untuk jati seluas 16.618, 1 ha (94,2%) dan tidak baik untuk jati 375,4 ha (2,2%).

Komposisi kelas hutan didominasi oleh KU muda dan TJBK sementara posisi KU tua sangat sedikit.

Daur, Luas Tebangan dan Produktivitas Tebangan

KPH Parengan ditetapkan daurnya 70 tahun UTM 60 tahun (sumber : RPKH Jangka 2006 s/d 2015). Sehingga dalam hitungan normal, mestinya luas tebangan A2 (tebang habis) adalah 16.618,1 ha dibagi 60 tahun sebesar 277 ha per tahun. Namun kenyataannya luas tebangan A2 per tahun dalam 1

0 tahun terakhir rata-rata adalah sebesar 90 ha (atau hanya 33 % dari luas normal). Atau dengan kata lain 67 % dari luasan yang dikelola Perhutani parengan tidak mencapai masa tebang.

Namun bila dilihat untuk rencana tebangan 7 tahun kedepan sampai akhir jangka RPKH, luas tebangan A2 justru mengalami penurunan, yaitu rata- rata per tahun seluas 65 ha ( atau hanya 23 % dari luas normal).

Belum lagi dilihat dari produktivitas per ha. Dalam 10 tahun terakhir produktivitas tebangan A2 di KPH Parengan rata-rata sebesar 78 m3/ha (atau 36 % dari produktivitas normal sebesar 218 m3/ha menurut tabel WvW pada umur 70 tahun bonita 3).

Produktivitas ini tidak jauh berbeda untuk rencana tabangan A2 untuk tujuh tahun kedepan sebesar 81 m3/ha.

Sungguh suatu fenomena yang harus segera dijawab dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa khusunya di KPH Parengan.

Benchmark dengan Standart Pengelolaan Hutan Jati

Dari sisi lain, sebuah perusahaan dapat dilihat posisinya dari perusahaan pesaing, namun untuk perhutani yang mungkin sulit untuk mencari perusahaan pesaing, maka dapat dilihat ukuran kinerjanya dibandingkan dengan standar-standar pengelolaan hutan jati dijawa seperti tabel WvW. Posisi KPH Parengan adalah sebagai berikut :

Mencermati data tersebut, khususnya pada umur 20 tahun, baik jumlah pohon per ha maupun produktivitas per ha sangat jauh dibawah standart. Hal ini bisa disebabkan oleh pemeliharaan/ penjarangan yang tidak menjadi prioritas untuk mendapatkan tegakan tinggal yang baik. Hal tersebut sejalan dengan adanya trend bahwa produksi tebangan E menjadi prioritas untuk juga memberikan sumbangan pada pendapatan perusahaan. Namun disisi lain, pada KU muda (KU I) kegiatan pemeliharaan/ penjarangan seringkali tidak dilakukan, karena tidak menghasilkan, sehingga tegakan yang diharapkan tumbuh optimal tidak dapat diwujudkan.

Evaluasi terhadap tegakan tinggal setelah penjarangan belum menjadi perhatian atau bahan evaluasi dalam pengelolaan hutan di Perhutani, khususnya di KPH Parengan. Justru yang menjadi bahan evaluasi adalah produktivitas tebangan E, yang sebenarnya secara tidak langsung memberikan dorongan untuk mengambil potensi akhir daur untuk dimanfaatkan dahulu. Sehingga ini sangat relevan dengan jauhnya produktivitas tebangan A2 pada akhir daur sebesar 36% s/d 40% dan luasan tebangan A2 yang hanya berkisar 23 % dari luasan normal. Selain mungkin disebabkan oleh adanya gangguan keamanan.

Produksi, Pendapatan/ Biaya ,Gangguan Keamanan dan PHBM

Melihat dari sejarah pengusahaan hutan di KPH Parengan, khususnya bidang produksi yg merupakan sumber pandapatan perusahaan, memberikan gambaran bahwa trendnya semakin menurun dari tahun ketahun. Penurunan produksi sudah sangat bisa dipastikan memberikan konsekuensi pada penurunan pendapatan perusahaan. Sementara biaya usaha khususnya yang dipengaruhi oleh biaya fix cost seperti gaji dll tidak bisa turun dan cenderung terdapat tuntutan adanya kenaikan.

PHBM yang merupakan program untuk ’menyelamatkan’ perusahaan, sudah berjalan hampir 7 tahun. Mungkin sudah banyak kemajuan yang didapat, terutama bentuk kolaborasi secara kelembagaan dengan masyarakat dan stake holder untuk sama sama mengeola hutan agar tetap lestari. Namun disisi lain ada tambahan kewajiban finansial yang harus dikeluarkan oleh perusahaan kepada masyarakat dan stakeholder yag dari tahun ke tahun semakin besar seiring dengan tambahnya masa perjanjian.

Sementara tingkat gangguan keamanan yang diharapkan turun secara signifikan, sampai sekarang belum juga menunjukkan hasil yang maksimal, setidaknya sampai sekarang, semoga kedepan bisa lebih baik.


Faktor Internal yang mempengaruhi rendahnya kinerja

SDM

Budaya organisasi yang lemah yang disebabkan sistem kerja yang buruk : tidak transparan, tidak adil dan tidak terukur

Sumberdaya hutan

Posisi kelas hutan KU muda KU I dan II yang mendominasi sementara KU tua dan masak tebang sangat rendah yang mengancam tidak akan adanya produksi kayu pada dekade kedepan.

Sementara kualitas sumberdaya hutan berada pada posisi jauh dibawah standar pengelolaan hutan, sehingga produktivitas lahan sangat sangat rendah.

Pengawasan dan pengawalan program penanaman JPP yang diharapkan bisa dipenen umur 20 tahun sebagai salah satu solusi mengatasi trend penurunan potensi SDH belum dikawal maksimal.

Keuangan

Dari sisa jangka RPKH yang ada, dengan target produksi tebangan A2 sekitar 5000 m3 per tahun atau setara dengan nilai pendapatan 15 milyard per tahun ( asumsi harga rata- rata Rp3 juta pe m3), maka KPH Parengan tidak bisa memberikan keuntungan kepada perusahaan karena biaya per tahun besarnya sekitar 15 milyard juga.


Kondisi Eksternal yang perlu segera direspon

Dengan kondisi krisis ekonomi dunia sekarang yang merebak yang dimulai dari krisis di Amerika dan Eropa, mau tidak mau membawa pengaruh kepada kondisi perekonomian di Indonesia. Beberapa perusahaan tekstil, furniture dan lain lain yang tujuan pasarnya ke Eropa dan Amerika sudah kesulitan untuk bertahan hidup, sehingga ancaman PHK besar-besaran akan terjadi. Kalau yang terjadi PHK besar-besaran, maka sumberdaya hutan sebaga aset terbuka juga sangat terancam keberadaan dan kelestariannya.

Sementara masalah fundamental yang selama ini masih menyelimuti masyarakat Indonesia khususnya desa desa tertinggal yang syarat dengan kemiskinan, masih menjadi PR besar yang nota bene desa tertinggal sebagian besar merupakan desa hutan. Sehingga keputusan manajemen perusahaan untuk mengambil kebijakan yang berpihak kepada pembangunan sektor riil dalam negeri yag menggerakkan perekonomian dan penyerapan tenaga kerja padat karya sangat dibutuhkan.

Dengan adanya otonomi daerah, yang mengharuskan perhutani berkoordinasi lebih baik lagi dengan segenap stakeholder, memberikan konsekuensi pada pengawasan dari pihak eksternal baik pemda, LSM, dinas kehutanan dan stake holder yang lain agar pengelolaan hutan benar benar dilakukan sesuai dengan kaidah.

Berlanjut ke bagian 3 dari 3 ....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar