14 Desember 2008

REDESAIN PENGELOLAAN HUTAN : STUDI KASUS DI KPH PARENGAN (Bagian 3 dari 3)

PROGRAM REDESAIN KPH PARENGAN

Pengertian Redesain

Redesain KPH parengan yang dimaksud adalah desain ulang terhadap pengelolaan sumberdaya hutan, terutama dalam hal pemilihan jenis tanaman pokok dan umur masak tebang berdasarkan kesesuaian jenis tanah dan kondisi sosial masyarakat dengan diikuti perlakuan silvikutur yang tepat dan manajemen pengelolaan dengan budaya organisasi yang kuat.


Tujuan Redesain

Tujuan dilakukan redesain adalah : agar pengelolaan dan pengusahaan sumberdaya hutan dapat optimal sesuai dengan kondisi sosial ekonomi yang sekarang dan kedepan, pemanfaatan nilai lahan secara optimal, memberikan hasil yang lebih besar kepada perusahaan, masyarakat dan segenap stakeholder, memberikan nilai positip kepada pengelolaan lingkungan sehingga KPH parengan menjadi KPH mandiri yang sehat dan berdampingan dengan masyarakat.


Langkah langkah penerapan redesain KPH Parengan

Strategi

Strategi untuk menerapkan redesain Pengelolaan SDH di KPH Parengan harus bisa menjawab permasalahan-permasalahan dan potensi masalah baik internal maupu eksternal :

  1. Apakah bisa menjamin keberlangsungan perusahaan
  2. Apakah bisa lebih mensejahterakan karyawan
  3. Apakah bisa memberikan penghasilan yang lebih besar kepada perusahaan
  4. Apakah tetap berpihak kepada masyarakat dan segenap stakeholder
  5. Apakah kebijakan ini didukung masyarakat dan bisa mengurangi kerawanan sosial
  6. Apakah PHBM tetap bisa terus dijalankan
  7. Apakah Perhutani KPH Parengan tetap bisa menjadi life support system
  8. Apakah tetap menjamin keberlangsungan fungsi ekosistem
  9. Apakah bisa meningkatkan nilai lahan dengan peningkatan produktivitas
  10. Apakah tetap fokus kepada core bisnis dalam pengelolaan sumberdaya hutan
  11. Apakah produk hasil hutan yang dihasilkan sangat diminati pasar


Memperhatikan permasalahan dan potensi masalah tersebut maka yang perlu dilakukan adalah :

  1. Menghitung kebutuhan biaya atau target penghasilan minimal yang harus diperoleh tiap tahun, termasuk besaran produksi kayu yang yang harus dihasilkan setiap tahun .
  2. Memetakan zona-zona atau wilayah wilayah berdasarkan karakteristiknya.
  3. Memilih zona yang ditetapkan untuk mendukung kebutuhan penghasilan minimum KPH Parengan (zona inti yang lebih fokus sebagai fungsi ekonomi) dan sisanya zona penyangga yang lebih berfungsi sebagai fungsi sosial dan ekologi
  4. Menetapkan jenis dan masa panen di zona inti
  5. Menetapkan standart baku sebagai bahan evaluasi untuk patokan pengelolaan sumberdaya hutan di zona inti dan zona penyangga
  6. Memilih sumberdaya manusia yang kompeten untuk mengawal dan mempertahankan zona inti sesuai standar pengelolaan


a. Kebutuhan Penghasilan per Tahun dan Rencana Prouksi serta luasan untuk Zona inti

Asumsi dari perhitungan diatas adalah sebagai berikut :

  1. Kebutuhan Penghasilan = 1,1 juta/ha luas wilayah
  2. Profit 30 %
  3. Sharing LMDH 25 %
  4. Harga jual kayu 1,5 juta per m3
  5. Produktivitas tebangan A2 101 m3/ha (tabel WvW umur 20 tahun, bonita 2,5)
  6. fk = 0,2
  7. Daur 20 tahun


b. Pemetaan Wilayah KPH Parengan Berdasarkan Karakteristiknya

Melihat kondisi kelas hutan, kondisi masyarakat, kondisi tanah tempat tumbuh, tingkat gangguan keamanan, maka wilayah KPH parengan dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian besar berdasarkan Bagian Hutan masing masing.

1. Bagian Hutan Nglirip :

Dari potensi sumberdaya hutan secara makro Bagian Hutan Nglirip dapat diringkas sebagai berikut :

KU I-II : 58 %, KU III-IV : 4 %, KU V-VI : 2 %, KU VIIup-MR : 2 %, sisanya 32 % terdiri dari kelas hutan tidak produktif dan Hutan lindung.

Bagian Hutan Nglirip merupakan wilayah yang paling besar kelas hutan KU I nya, yaitu 58%, dimana dibagian wilayah ini terdapat desa Sidonganti, yang masyarakatnya sudah terkenal sangat haus lahan untuk pertanian dan cenderung merusak hutan baik KU muda maupun KU tua.

Terdapat 3 RPH yang wilayahnya banyak terjadi gagal tanaman/ her kultur, yaitu RPH Mulyoagung dan Guwoterus BKPH Mulyoagung dan RPH Ngindahan BKPH Montong karena motif penguasaan lahan untuk tanaman polowijo sepanjang tahun. Sehingga secara teknis 3 RPH ini perlu dipertimbangkan untuk penanaman Kayu Putih.

Sisanya tetap diperlakukan daur panjang (70 tahun) seperti sekarang.

2. Bagian Hutan Kanten :

Bagian Hutan Kanten terdiri dari 2 BKPH yaitu BKPH Malo dan BKPH Pungpungan
dimana potensi sumberdaya hutannya secara makro sebagai berikut :

KU I-II : 39 %, KU III-IV : 5 %, KU V-VI : 7 %, KU VIIup-MR : 9 %, sisanya 40 % terdiri dari kelas hutan tidak produktif dan Hutan lindung.

Bagian Hutan Kanten merupakan wilayah yang mempunyai kelas hutan KU tua (KUV up dan MR) paling besar yaitu 16 %, dan luasan KU muda (KU I–IV) paling kecil (44%) dibandingkan 2 bagian hutan yang lain.

Untuk model pengelolaan Sumberdaya hutan dengan pola yang sekarang, yaitu dengan daur 70 tahun, masih bisa dipertahankan dengan tujuan untuk memproduksi kayu kayu besar.

3. Bagian Hutan Parengan :

Bagian Hutan Parengan terdiri dari 2 BKPH yaitu BKPH Parengan Utara dan BKPH Parengan Satan dengan kondisi sumberdaya hutan secara makro sebagai berikut :

KU I-II : 46 %, KU III-IV : 18 %, KU V-VI : 3 %, KU VIIup-MR : 2 %, sisanya 31 % terdiri dari kelas hutan tidak produktif.

Bagian Hutan Parengan merupakan wilayah yang mempunyai kelas hutan KU muda (KU I-IV) paling besar yaitu 64 % sementara KU tua (KUV up dan MR) cukup kecil yaitu 5 %.

Sampai 2 jangka RPKH kedepan, BH Parengan sangat kecil produksi tebangan A2 nya dan ini memberikan dampak pada beban perusahaan.

Memperhatikan tuntutan internal perusahaan dan kondisi eksternal perusahaan yang harus segera disikapi, maka Bagian Hutan Parengan merupakan wilayah yang cocok untuk pengembangan JPP dengan daur 20 tahun sebagai daerah Inti perusahaan untuk menghidupi Perusahaan.

c. Penetapan zona Inti Perusahaan

Memperhatikan tuntutan internal perusahaan dan kondisi eksternal perusahaan yang harus segera disikapi, maka Bagian Hutan Parengan merupakan wilayah yang cocok untuk pengembangan JPP dengan daur 20 tahun sebagai daerah Inti perusahaan untuk menghidupi Perusahaan.

Kebutuhan luas zona inti menurut perhitungan adalah 4.993 ha. Sementara luas BH Parengan yang cocok untuk produksi kayu jati adalah 5.119,7 ha. Artinya masih ada sisa luas sebesar 126,7 ha yang bisa ditanami JPP daur 20 tahun untuk menambah pengasilan perusahaan.

Sementara dari luasan total BH Parengan sebesar 5.259,4 ha, isanya sebesar 139,7 ha merupakan TJKL, TKTBJ dan TBP yang bisa dipertahankan dengan jenis rimba untuk fungsi konservasi.

ManajemenPada Zona Inti

  1. Menyempurnakan standar pembuatan tanaman dan pemeliharaan JPP termasuk biaya yang rasional dengan dilakukan pengawasan yang lebih ketat agar mendapatkan tanaman yang tumbuh dengan optimal

Ini merupakan koreksi dari kebijakan sekarang yang memberikan standar penanaman dan pemeliharaan JPP yang lebih besar dibanding APB namun sulit dalam pengawasan karena lokasi yang menyebar dan sporadis antara JPP dan APB

  1. Memilih SDM yang kompeten dan bertanggungjawab pada Zona Inti dengan memberlakukan reward dan punishment yang transparan dan konsisten..
  2. Melakukan evaluasi berdasarkan standar-standar pengelolaan SDH yang terukur untuk mencapai standing stock atau produktivitas lahan yang optimal.
  3. Memberlakukan aturan yang cukup tegas pada tanaman lepas kontrak (maksimal umur 2 tahun) untuk memberikan ruang tumbuh tanaman secara optimal.
  4. Memperkuat hubungan dengan LMDH dalam hal sukses tanaman untuk mendapatkan hasil yang lebih besar dalam jangka waktu yang labih cepat (maksimal 20 tahun)

Manfaat strategis zona inti dengan daur 20 tahun

  1. Mencukupi demand yang sangat tinggi untuk kayu kayu- kayu kecil (AI dan AII) untuk industri dalam negeri
  2. Penguatan PHBM dalam hal manfaatnya yang lebih cepat dirasakan oleh LMDH sehingga rasa memiliki dan mengamankan lebih besar
  3. Peningkatan nilai sumberdaya (tanah) yang semula sekali dalam 60 tahun menjadi 3 (tiga) kali.
  4. Pembuktian kualitas JPP Perhutani untuk mendorong peningkatan pendapatan perusahaan dan mendorong animo masyarakat untuk gemar menanam termasuk Jati dengan daur yang lebih pendek.
  5. Dapat mengurangi gangguan keamanan, terutama untuk pesanan kayu kayu besar
  6. Zona inti ini yang tempatnya ngumpul dan kompak lebih mudah dalam pengawasan dan perlakuan, sehingga tingkat keberhasilannya lebih besar.


Mengapa harus BH parengan

  1. Wilayah dengan komposisi kelas hutan KU maksimal KU V dan situasi lebih aman, indikasi dari tingkat gangguan keamanan yang lebih kecil dibandingkan dengan 2 wilayah bagian hutan yang lain.
  2. Sampai 2 jangka RPKH kedepan, tidak ada rencana tebangan A2
  3. Kondisi masyarakat secara umum lebih maju dari sisi tingkat pendidikan dan pengetahuan
  4. Tidak mempengaruhi rencana tebangan A2 yang sudah terprogram melalui RPKH Jangka 2006- 2015.


Posisi BH Nglirip

Sesuai dengan pemetaan wilayah, BH Nglirip merupakan zona penyangga perusahaan dengan jenis tanaman di 3 RPH, yaitu Mulyoagung, Guwoterus dan Ngindahan menjadi kelas hutan Kayu Putih seluas kerang lebih 2000 ha. Sisaya tetep menjadi penyedia kayu besar dan FGS untuk menambah penghasilan perusahaan.


Posisi BH Kanten

Dipertahankan menjadi kelas perusahaan jati dengan daur panjang untuk produksi kayu besar. BH Kanten akan dapat menambah penghasilan KPH Parengan dalam sisa jangka RPKH tujuh tahun kedepan dan jangka berikutnya.

Berdasarka perhitungan jangka RPKH BH Kanten bisa menyumbang produksi kayu dari tebangan A2 sebesar 4000 m3/ tahun, atau setara dengan tambahan penghasilan 12 milyard (asumsi harga jual 3 juta per m3)

Dengan demikian pendapatan KPH Parengan bisa mencapai 45 Milyar pertahun dengan asumsi 31 Milyar dari produksi di BH Parengan, 12 Milyar dari BH Kanten dan 2 milyar dari BH Nglirip.


Posisi tanaman JPP thn 2002 s.d 2008

Untuk mempercepat upaya pencapaian KPH Parengan yang Mandiri, selama tujuh dari tahun 2002 sampai 2008 telah dilakukan penanaman JPP dengan penyebaran sebagai berikut : Luasan yang paling besar untuk JPP berada di BH Nglirip, karena faktor kesuburan. Namun dari faktor keamanan BH Nglirip juga merupakan wilayah yang paling rawan, sehingga penetapan Zona inti perusahaan sangat riskan bila ditetapkan di BH Nlirip.

Luasan JPP di BH Parengan mencapai 553,7 ha merupakan modal awal untuk terus memperbaiki kualitas tanaman dan segera mengambil keputusan untuk melakukan tebangan rehabiitasi dengan penggantian JPP diseluruh wilayah BH Parengan.

PENUTUP

Dalam gagasan ini ada beberapa keterbatasan, tantangan dan hal yang masih perlu ditindaklanjuti dan perlu diantisipasi dalam perjalanannya nanti, yaitu :

  1. Pemberlakuan daur 20 tahun pada zona inti dapat membuat kecemburuan di daerah penyangga terutama dari LMDH
  2. Kondisi yang relatif aman sekarang pada zona inti, bisa saja berubah pada masa yang akan datang dengan pengaruh situasi politik dan ekonomi nasional
  3. Reward dan Punishment pada Zona inti akan membuat kecemburuan karyawan disaerah penyangga
  4. Perlu dibuat standar-standar pengelolaan terutama tegakan yang jelas dan terukur untuk dapat mengetahui produktivitas lahan secara konsisten sampai akhir daur baik di zona inti maupun penyangga.
  5. Analisa usaha Kayu Putih di daerah penyangga belum dihitung yang secara ekonomi juga bisa mendapatkan penghasilan.

Demikian uraian kami, semoga pemikiran kecil ini dapat mengilhami pengambil keputusan Manajemen Perhutani sehingga bisa mewujudkan Perhutani yang Besar dari Sisi Pengelolaan Hutan, Kesejahteraan Karyawan, Berdampingan dengan Masyarakat dan dapat Menyangga Ekosistem di Pulau jawa dan Madura.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar